(Cerita ini merupakan revisi dari tugas cerpen
SMA 8 tahun lalu, yang berjudul: Seputih Jasmine)
Hujan
menyapa Bandung selatan sore ini. Angin terdengar riuh seiring decak jutaan
butir yang berbondong turun dari langit menuju tanah dan pucuk-pucuk daun teh.
Namun langit masih terlihat biru, dan di tiap petak-petak lahan kebun teh itu
sehimpunan remaja ria berkeroyok canda membiarkan tubuh mereka digauli hujan.
Sudah sedari kemarin bocah-bocah itu menanti datangnya air mata bumi, rindu
berperosotan di tanah licin yang memudun di kaki bukit perkebunan teh. “ayoo
dorong lagi Sel... dorong yang kenceeeng!” Teriak seorang gadis bak kapten
dalam kelompok itu, wajahnya terlihat amat riang memecah kelam. Srodooooot...
"yuhuuuu!" jalur lajunya tiba-tiba meliuk kearah wanita separuh baya.
Dan... Brak!! bruzzzkk aw. “Astagaaaa, bandel kamu Jasmine…! Pulang!”
Ditariknya erat gadis itu hinga dengan cepat
berdiri. Lengannya masih tergenggam kokoh oleh wanita itu, menuju ke arah
rumahnya yang menyembul megah di permukaan kebun, jaraknya hanya 200m dari
perkebunan, tapi gadis itu masih terlihat riang, sembari berjalan cepat ia
menoreh kebelakang dengan tawa tergelak menengok ke tiga temannya yang sedari
tadi tak berkutik kala wanita itu mencak-mencak memarahi gadis itu. Yah, Jasmin
memang begitu, tak pernah ada raut muka yang menyedihkan, hatinya selalu riang.
Sedangkan Angel, Yayuk dan Sello hanya berdiri tegang seolah takut terjadi
sesuatu kepada Jasmine. Sona memang tak pernah ramah terhadap Jasmine, padahal
sudah hampir lima tahun wanita itu menjadi ibunya. Entah karena kesal terhadap
kelakuan Jasmine yang memang seperti bocah ingusan liar yang terkadang sangat
menjengkelkan ibu tirinya itu, atau karena Ayah Jasmine yang terlalu menyayangi
anak semata wayangnya hingga ia berfikir kedua anaknya hanya dianggap sebagai
keponakan. Padahal kurang apa perhatian dan kasih sayang Ayahnya Jasmine
terhadap mereka, apa yang mereka inginkan tak pernah tidak digubris oleh
pengusaha kaya itu. Ya, Ayah Jasmine adalah orang terpandang, sedikitnya 3
perusahaan yang ia kelola dan satu Rumah Produksi yang didalamnya terdapat
orang-orang mahir dalam menghasilkan sebuah karya di bidang entertainment.
Namun, kesibukannya membuat Wahyu tak pernah ada di rumah, sesekali memang
pulang dan terkadang menghabiskan waktu liburan bersama keluarga, itupun jika
pekerjaan tidak mengharuskannya berdada di kantor seharian. Maklumlah, orang
sukses tak hanya di satu perusahaan. Hanya saja, jika Ia tidak ‘turun ranjang’
dengan Tante Sona... hah... terlanjur.
Jasmine, gadis berusia 20 tahun ini adalah
putri tunggal dari Wahyu Candra. Ia gadis yang polos, dan ‘nakal’, bukan nakal
seperti gadis-gadis remaja yang berkeliaran di pusat kota kala malam minggu
tiba yang kebiasaannya hanya nongkrong, hang out, clubing atau bergaul dengan
kekasihnya. Tapi Jasmine benar-benar seperti anak-anak berusia 10 tahun yang mendambakan
suasana ceria layaknya teman-temannya yang masih duduk di bangku SMP seperti
Angel, Sello dan Yayu. Merekalah yang setia menjadi sahabatnya. Itu karena
Jasmine menderita keterbelakangan mental, terjadi begitu saja saat ia mengalami
kecelakaan 10 tahun lalu, insiden yang merenggut nyawa Ibunda tercintanya.
Kecelakaan itu mengakibatkan pola perkembangan Jasmine seolah melambat.
Terkadang kepalanya merasakan sakit seketika. Entahlah, mengapa jasmine menjadi
begitu, hanya Tuhanlah yang tau! Tapi setidaknya Jasmine tidak seperti tokoh
‘Rohit’ dalam film bollywood ’koi mil gaya’ yang sikap dan gaya bicaranya
sangat kekanak-kanakan, Jasmine tidak seperti itu. Ia sesekali bersikap dewasa
meski memang sifat polosnya melekat erat
bagai cicak yang menepel di dinding. Jasmine tipikal gadis yang tak
banyak bicara, bila sesuatu atau kerisauan datang menderanya, ia hanya
meluapkan dalam sebuah diary mungilnya. Meski tak pintar, Ia bisa membaca dan
menulis lambat karena sekolahnya hanya dapat dicapai sampai kelas tiga SD saja,
itupun 3 tahun tidak naik kelas.
“Bi Asih, suruh Jasmine mandi dan kasih dia
baju yang rapi. Mas Wahyu pulang malam ini.”
“Saya, Nyonya...”
Jasmine mendengar percakapan mereka. Begitu
senang hatinya bertanya-tanya hadiah apa yang akan dibawakan ayahnya sepulang
dari Lombok.
***
Malam yang mendebarkan...
Gemericik hujan.
Ting Tong.... Bel berbunyi nyaring dan merdu.
Simbok segera membuka, tapi Jasmine menyela dan ingin terlihat spesial malam
ini, spesial dengan mengenakan gaun ibunya. Dibukakannya perlahan pintu itu.
“Loh
kok, Nara sama Yolan?”
Sedikit kecewa mengetahui ternyata dua saudara
tirinya yang baru pulang dari kampus. Yolan menyentak dan menyapu pundak
Jasmine. Nara adalah mahasiswi jurusan ekonomi semester 4, dan Yolan baru lulus
SMA yang sedang berkarir di dunia modeling, tentunya dengan memanfaatkan PH
Ayahnya. Rencananya Yolan akan kuliah di PTN yang sama di jurusan komunikasi.
Dua jam berlalu, Wahyu tak kunjung datang.
Hujan semakin lebat saja, terkantuk-kantuklah Jasmine di ruang keluarga. Dan
daripada kesal menunggu lama, lebih baik ia memainkan piano yang sering
dimainkan ibunya. Alunan piano apik ia mainkan, itu salah satu kelebihan
Jasmine yang mengagumkan dan ayahnya sangat bangga, amat menyukainya. Sedangkan
Nara dan Yolan sedang asik berdandan ria di kamarnya. Sesaat kemudian Wahyu
datang, dan Bi Asih lah yang membukakan pintu, Jasmine masih mengalunkan
dentingan piano klasik, Naara dan Yolan menyambut kedatangan Ayah tirinya itu
dengan dekapan rindu. Sedikit sandiwara dalam hal ini, yah sekedar cari
perhatian.
“Eh Mas, akhirnya pulang juga. Kita tunggu
dari tadi sore loh, Jasmine lagi asik main piano tuh Mas, udah aku bilang
siap-siap nyambut Mas, malah gak denger...”
Makhluk satu ini, hasut! Tapi Wahyu tak begitu
menghiraukan perkataan Sona, segeralah ia menghampiri Jasmine yang tampak
mempesona malam ini, alunan pianonya, wajah polosnya, penampilannya,
mengingatkannya kepada Istrinya. Sosok yang ada pada diri Jasmine, yah ibunya.
Wahyu mendekap Jasmine diam-diam dan berkata “Makasih udah nyambut ayah begitu
spesial, sayang”. Sontak Nara dan Yolan memicingkan bibirnya, cemburu karena
mereka tak mendapat pujian. Mereka bersama-sama membuka oleh-oleh yang Wahyu
bawa dari lombok, Jesmine mendapat rumah mungil baru untuk Elizabeth, kucing
tersayangnya. Rumah yang dapat dilipat dan dijinjing kala ia bermain diluar
dengan teman-temannya. Sona mendapat kalung mutiara asli Lombok dan kedua
anaknya mendapat Tas dari butik ternama.
"Jum’at ini Papa bakalan pergi lama, ke
England. Ada proyek dengan perusahaan teman Papa disana. Sekitar satu bulan
lebih. Kalian baik-baik disini, Papa janji akan bawain hadiah paling istimewa
sepulang dari sana”.
Kabar ini terdengar begitu merisaukan bagi
Jasmine, karena ini berarti Ia harus sabar menghadapi perlakuan-perlaukan
bengis Sona dan anak-anaknya. Terlebih, Jasmine merasa sendirian di rumah ini,
merasa seperti di Asrama militer. Jasmine melingas pergi ke kamarnya tanpa
kata, meninggalkan Ayahnya yang belum selesai berbicara. Ia begitu sedih dan
kecewa, baru saja Ayahnya pulang, di minggu yang sama harus pergi lagi.
Masih disela rinai hujan, ia duduk di balkon
jendela kamarnya, merangkul lutut dan termenung, menatap malam yang tak
berbintang, hanya guratan air yang menempel ke jendela, mencoba
meraba-raba dan menghapus semiran embun
sembari melihat separuh bulan. Ia mengingat kejadian dua pekan yang lalu,
dimana Angel dan Sello mengajaknya untuk bergabung dalam tim paduan suara untuk
mengiringi penyanyi dalam drama teater ‘The Ark of Noah’, dengan alunan
pianonya yang berlangsung kacau saat Elizabeth gencar berlari menghampiri
mangkuk besar berisi kepingan biskuit kentang yang dipegang oleh si pendeta
berhamburan sampai ke penonton. di Gereja Pantekosta itu, penonton dan pemeran
drama bencar sembari berteriak. Drama yang semula menuai decak kagum seketika
mengesalkan, kacau total. Sona pun menghukumnya berlari mengelilingi
petak-petak kebun. Karena hukuman itu, Jasmine terbaring di rumah sakit selama
dua hari. Sona dan anak-anaknya mana mau mengurusi, peduli saja tak pernah.
Malang sekali gadis ini. Hanya diurus oleh Bi Asih yang baik hati.
Atau peristiwa mini party nya Yolan lima hari
yang lalu. Ketika Jasmine dan Yayu diam-diam mencampur saus cabai kedalam
pitcher yang berisi minuman Lychee squash, mengolesi semua cup-cake dengan
kecap dan menabur butiran makanan ikan. Bayangkan bentuk dan rasanya... Semua
teman-temannya pergi meninggalkan pesta yang baru dimulai itu, acara hancur,
gagal total. Reputasi Nara dan Yolan yang dipertaruhkan. Jasmine lagi-lagi
menerima hukuman atas perbuatannya ini. Nara dan Yolan menyeret Jasmine dari
kamarnya menuju kamar mandi menenggelamkan kepalanya kedalam bak mandi sampai
Jasmine terengah bernafas senin kamis. Menjerit-jerit kesakitan karena
rambutnya dijambak dan setelah itu ditinggalkan begitu saja di kamar mandi
sampai esok pagi.
Bi Asih meringis melihat untaian kekejaman dua
wanita siluman ular keket itu. Maka dari itulah jasmine amat tak rela ditinggal
pergi Ayahnya. Jasmine tak mau hal itu terulang kembali, kembali kepada
hari-hari yang penuh keji dan caci, kala ia mencari-cari sesuatu untuk memecah
rasa bosan yang pada akhirnya selalu saja terjadi kekacauan yang tak diduga.
Dihukum bagai anak-anak pencuri bakwan di dapur pesantren dalam sinema tivi. Ini
sih, lebih dari itu.
"Yaalloh, aku kangen Mama..."
Semankin merasakan sakit hati Simbok mendengar rintihan Jasmine di kamar
mandi.Lamunan Jasmine kabur berakhir dengan tangisan, semakinmemeluk erat
lututnya. Dinaungi terang bulan dibalik jendela.
"Andai saja Mama masih hidup..."
***
Esok
hari...
“Aku ijinin Ayah pergi, tapi setelah itu,
waktu ayah hanya buat aku. Kita makan eskrim dan main sepatu roda bareng
lagi. Janji ??”
“Ayah janji sayang. Ayah kembali buat kamu...”
Sebuah kecupan manis mendarat di kening Jasmine.
Di ujung gerbang seorang pria gagah mempesona
yang mengendarai Ford-nya telah menunggu untuk menjemput Candra, ia seorang
kepercayaan Candra diperusahaannya. Terlihat begitu akrab dengan Nara yang
mendekatinya penuh gairah. Nara menyukainya. Nara memang begitu ke setiap
cowok, apalagi yang tampan dan kaya
raya. Seperginya Wahyu, kini Jasmine sendirian lagi di rumah ini. Tanpa kasih
sayang yang berarti. Mungkin memang sudah seharusnya hidup begini.
“Jasmine, ikut Mama ke dokter. Sekarang!” Sona
membawa Jasmine ke psikiater, entah bagaimana pemikirannya.
“Maaf Bu, Putri ibu ini bukan orang gila. Ia
hanya butuh pendampingan khusus dari orang tua. Memang dalam kondisi ini
Jasmine akan sering melakukan hal-hal aneh layaknya anak-anak. Itu karena
mentalnya yang terbelakang. Andai saja dulu tidak terjadi kecelakaan yang
seperti ibu bilang tadi... (bla bla bla...).”
Sepertinya Sona mulai resah dengan keberadaan
Jasmine yang terus dicemburui oleh kedua putrinya. Lalu ia teringat masalalunya
yang selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya Anggun, Ibunya Jasmine.
Pribadi yang santun, rajin, sederhana
dan agamis. Sedangkan Sona adalah wanita serakah dan egois. Hingga saat ini Ia
menyadarinya, namun tak pernah terpikir dibenaknya untuk merubah sikap sedikit
lebih manis. Sona tidak mau hal yang sama terjadi pada kedua putri tercintanya.
Hingga rasa dendam terus tersimpan dan terlampiaskan kepada jasmine.
Nara dan Yolan mengambil gaun yang dipakai
Jasmine kemarin malam dan merobeknya, karena baju ini, Ayah mereka menyanjung
Jasmine begitu gilanya. Jasmine yang baru pulang dari dokter, teriak histeris
mendapati kedua saudaranya merusak gaun peninggalan Ibunya, ia mengamuk dan mencakar
wajah molek Yolan yang merupakan aset utama mencapai ketenaran. Geram
dengan sikap Jasmine, Yolan dan Sona mengurung Jasmine di ruang belakang
garasi, kotor, tak ada celah cahaya. Dua hari terkurung, Bi Asih berusaha
membuka ruangan itu, sekedar untuk memberi makan. Bi Asih telah diam-diam
mengambil kuncinya dari lemari Sona. Beruntung tidak ketahuan. Saat jasmine
hendak ke dapur, mereka mendengar percakapan Sona dan kedua
anaknya.
“Sialan si Jasmine, bikin muka gue ancur
begini!”
“Ma, aku udah gak tahan lagi sama si bego itu.
Udahlah kirim aja ke panti apa kek gitu!.” Tandas Nara.
“Gak segampang itu Sayang. Anak sama ibunya
sama-sama bikin Mama lama-lama bisa gila. Kenapa dulu gak mati aja si Jasmine,
padahal rem mobilnya sudah dibikin blong, sit-beltnya juga hampir putus yah,
kenapa bisa selamat sih? Kalian tau sendiri tragisnya mobil Anggun. Kalo
seandainya dibikin mati juga gak akan ketauan kan? Begonya Mama!”
Jasmin terkaget-kaget hingga menjatuhkan gelas
yang ada di meja dapur, sona segera menghampiri dan mendapati Jasmine bersama Bi
Asih sedang sembunyi dibawah meja. Jasmine
lari ke kamarnya dengan penuh rasa takut.
“Jasmine, awas kamu kalo bicara macm-macem
sama Papa, Mama bakar kucing kamu!” Sona menggedor—gedor pintu. Jasmine
begitu ketakutan, Elizabeth sedang dalam genggaman Sona, ia memasukkan
Elizabent kedalam tong besi. Jasmine mengemas barang-barang berharga saat Sona
masih di taman belakang, Ia mengantongi sejumlah cek dan ATM di lemari Sona
untuk dibawa kabur.
"Sel sel, kasian itu si ebet.
Masyalloh"
"Namanya elizabeth, Yayuu. lebih keren
dari nama kita-kita yoy, ambil itu, batu-batu..."
"terus mau diapain ni batu, Sel? di
lempar ke nenek lampir?" Angel cukup pintar hari ini.
Yayu,
Angel dan Sello menyaksikan sona di balik tembok belakang rumah dan berusaha
menyelamatkan Elizabeth dengan melencengkan batu ke arah tangan Sona. Jasmine
ketahuan berada di kamar Sona, bergegaslah Sona ke kamarnya untuk menghentikan
Jasmine. Tapi Jasmine telah keluar dari rumah. Yayu memberikan Elisabeth kepada
Jasmine yang berhasil diselamatkan oleh Sello. Sejak itulah mereka berpisah.
Jasmine sudah tidak tahan lagi berada di rumah neraka ini. Sona dan Nara
mengejar hingga ke terminal bis. Hiruk pikuk terminal dan suara-suara para
kondektur membuat Jasmine bingung. Jasmine yang kala itu bimbang harus menaiki
bus yang mana, akhirnya masuk ke dalam bus arah Kuningan.
Di dalam bis jasmine sempat berkenalan dengan
seorang gadis, satu jam berlalu perjalanan, Jasmine menawarkan untuk bertukar
baju yang mereka pakai, dan menguncir rambutnya hingga terlihat sama seperti
jasmine, setelah itu jasmine menitipkan Elizabeth kepada gadis itu dengan
imbalan uang seratus ribu, kemudian meminta alamat lengkapnya. Sona masih
membuntuti dibelakang, untung saja sedang macet dan terhalang oleh beberapa
mobil juga truk. Jasmine segera keluar mengendap dari bis kuningan dan menaiki
elf yang berada 50 meter di depan bis pertama. Perpisahannya dengan Elizabeth
tidak akan lama, karena Jasmine segera menjemputnya di alamat yang diberikan
gadis itu.
Hujan
sangat deras, debar-debur perasaannya yang dihinggapi beragam ketakutan. Elf
melaju kencang, bis pertama yang ditumpangi Jasmine terlihat sedikit ada
masalah, tapi bisa diatasi. Sesaat jasmine terlelap, saat ia terbangun penumpang
elf ramai membicarakan sesuatu, ada apa?
Ternyata ada insiden kecelakaan di bis belakang yang mogok tadi. “Bisnya ngebul
neng, mesinnya panas mungkin” Jasmine berusaha mencerna obrolan ini, memahami. Dan seseorang yang lain mengatakan bis itu
oleng teralu cepet jalannya jadi dibelokan di belokan tadi terguling.” Oh my
God.. “Elizabeth...” Jasmine keluar dari elf menuju bis itu, dari kejauhan
penumpang ramai mengerubuti bis, mencoba menyelamatkan penumpang bis. Yang
telah keluar daribis, banyak yang terluka, tanyan dan kepalanyha berdarah
kakinya tak bisa berjalan.
“Elizabeth...”.
“Neng jangan kesana, bahaya. Bisnya mau
meledak!”
“tolongin Elizabeth...” Semakin kencang Ia
berlari. Namun motor menghantam tubuhnya hingga terjatuh ke bawah tebing beralas
sungai besar dahsyat menggelora. Seseorang yang mengetahui segera menolong
Jasmine tapi apadaya, Jasmine tak ditemukan. Mungkin ia terbawa arus sungai dan
nyawanya tak terselamatkan. Amatlah malang...
*** Selesai Bagian Pertama***





No comments:
Post a Comment